Realita Hidup, Sahabat dan Cinta
Lama tidak menulis sesuatu, ada saja
yang terasa kurang, entah ini entah itu. Ya, banyak alasan seseorang
tidak menulis, banyak pula alasan mengapa seseorang menulis.
Menulis merupakan sarana yang indah
untuk menyebarluaskan sesuatu hal yang ingin kita ingin agar orang yang
membacanya tahu akan apa yang terkandung dalam tulisan itu.
Hidup itu memang seperti ombak, kadang
pasang kadang surut, kalau lagi berjaya kita begitu bahagia, kalau lagi
ambruk, rasanya begitu menderita. Kalau kita pahami secara benar, segala
fenomena ini sebenarnya berakar dari pikiran kita sendiri. Mengapa bisa
demikian? Coba kita sadari, kala kita memikirkan sesuatu, kita ingin
mendapatkannya, tetapi hasilnya tidaklah sebagaimana yang kita inginkan,
bukankah kita merasa sedih dan menderita. Andai saja kita tidak
memikirkannya, mungkin akar permasalahan itu tidak akan pernah tumbuh
menjadi sebuah pohon yang besar yang sekiranya akan menyulitkan diri
kita sendiri.
Berjumpa dengan yang kita tidak senangi
maupun berpisah dengan yang kita cintai, begitulah fenomena yang
senantiasa hadir dalam perjalanan kita mengarungi kehidupan ini. Tak ada
orang yang sepenuhnya dapat senantiasa merasakan kebahagiaan setiap
hari dalam kehidupannya, ini juga berlaku bagi orang terkaya di dunia
ini. Kelak dan pasti, seseorang akan mengalami kesedihan, entah karena
hartanya dirampok, ditinggal orang yang dicintai, sakit, tua, dan
akhirnya harus mengalami tutup usia. Apa yang dapat kita pelajari dalam
hidup yang begitu singkat ini? Kita bukanlah makhluk abadi yang
senantiasa dapat mengikuti proses perubahan di dunia ini
Usia begitu singkat, manusia
berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan tanpa batas, ketika miskin
berpikir, “besok kita mau makan apa?“, ketika sudah masuk golongan
menengah berpikir, “besok makan di mana?“, ketika sudah kaya berpikir,
“besok makan siapa?“. Itulah realita kehidupan yang sulit dipungkiri,
ada akar keserakahan dalam diri, tak pernah puas dengan apa yang telah
diperoleh. Kalau sudah memperoleh apa yang diinginkan, niscaya akan
melupakan maksud mulia yang dahulu pernah diikrarkannya, misalnya,
“kalau aku sudah kaya, aku mau membangun rumah sakit, menyumbang ke
yayasan, dan lain-lain“, yang kesemuanya itu pada awalnya begitu indah,
tetapi pahit pada akhir ceritanya. Sudah merupakan sifat asal manusia,
melupakan apa yang telah berlalu, terutama kenangan pahit. Akan tetapi,
kenangan indah pun terkadang dilupakan.
Ada contoh lain, misalnya ketika kita
masih lajang, bertemu dengan seorang wanita yang masih muda belia, dalam
hati kita berpikir, “alangkah bahagianya aku jika aku bisa hidup
bersama dengan wanita ini”. Ok, kemudian anda berhasil menikahinya, anda
tetap bahagia. Akan tetapi, sesungguhnya, paras cantik adalah alasan
anda meminang wanita itu, dan memang, ada pepatah yang mengatakan
“cantik itu relatif, tapi, jelek itu mutlak“.
Wah, kalau begini dasar anda memilih
pasangan anda, yakinlah anda masih bahagia, tapi hanya untuk sementara
waktu. Mengapa? Karena anda belum menemukan tandingan dari wanita itu.
Dunia ini memang tidak selebar daun kelor, tapi dunia ini cukup luas
untuk dihuni milyaran manusia di permukaannya. Kalau ada seorang yang
parasnya rupawan, pasti ada yang lebih rupawan lagi. Anda tak bisa
memastikan, “apakah saya masih bisa mencintai wanita ini kelak, 10 tahun
lagi, 20 tahun lagi, 30 tahun lagi, dst.“. Fisik adalah harga mati yang
pasti akan mengalami perubahan! Anda akan menyaksikan wanita yang anda
cintai keriput, mulai bongkok di usia senja.
Ok, kalau orang sudah tua ya pasti
begitu. Bagaimana kalau sehabis kelahiran anak pertama, istri anda itu
tiba-tiba badannya melar? Apalagi kelahiran anak kedua? Bagaimana kalau
istri yang anda cintai adalah wanita yang doyan kehidupan glamor, pesta,
berdandan ala selebritis? Penghasilan perbulan anda lebih kecil
daripada kebutuhan istri anda, yang ternyata juga seorang wanita pemalas
yang tidak pernah mengasihani jerih payah suaminya? Mencampakkan
suaminya ketika suaminya diambang kemelaratan, yang tidak lain akibat
istri durhaka itu?
Orang tua senantiasa was-was akan
keadaan yang menimpa anaknya. Entah dalam masa menimba ilmu, berkarir,
berumah tangga, dan lainnya. Contoh sederhana, bagaimana bila buah hati
anda mandek dalam karir menimba ilmu di sekolah, tidak naik kelas,
pemalas, hanya doyan bermain, menyukai permainan dan membenci buku,
senang bergaul dengan yang tidak pantas diajak bergaul dan menjauhi
orang yang pantas diajak bergaul, menyayangi teman sekolah yang buruk
perilakunya dan membenci guru yang pantas dihormatinya? Renungkanlah
realita ini.
Anda mungkin yakin, jika orang tua baik,
pasti anak baik, saya katakan, “belum tentu”. Bagaimana jika anak anda
tumbuh sebagai seorang pendusta besar? Yang parahnya, anda tidak
menyadari akan hal itu. Tak pelak, anak manja itu tumbuh dalam
perlindungan orang tua yang salah, yang kelak dan pasti akan menyebabkan
penderitaan yang berkepanjangan, di kemudian hari.
Ada orang yang berkata, “anak kecil
tidak mungkin berbohong”. Saya katakan, “pikiran anda sungguh sangat
sempit sekali…, kasihan kalau orang tua berpikir seperti ini, ini
menandakan orang tua tidak mempersiapkan diri secara baik untuk
berprofesi sebagai orang tua yang baik!”. Sedari seorang anak
mempersiapkan diri untuk menginjak bangku sekolah, sedari itu pula, sang
anak telah siap untuk memasuki realita pergaulan yang beragam dengan
kondisi yang beragam, sedari itu pula kebohongan telah tertanam dalam
diri sang anak.
Saya ingin bertanya, “apakah seorang
koruptor, dahulunya adalah seorang anak kecil? Apakah seorang perampok,
dahulunya adalah seorang anak kecil? Apakah seorang pembunuh, dahulunya
adalah seorang anak kecil?”. Jika ya, berarti anda telah menyadari
realita ini, anak kecil dapat diibaratkan sebagai bubuk semen yang baru
saja dicampur dengan air, ia dapat diaduk, selama diaduk dengan baik dan
ditambahkan air (pelajaran yang baik), ia akan memiliki sifat lunak.
Bagaimana bila tidak diaduk dan ditambah air? Ia akan mengeras. Kalau
sudah begini, sebagai orang tua menangis darah pun sudah tidak berguna.
Kehidupan ini berjalan sebagaimana hukum
fisika, “ada aksi, ada reaksi!”. Bagaimana mungkin seorang wanita yang
tidak kita kenal bisa menjadi istri kita dikemudian hari, bila kita
tidak pernah mau berkenalan dengan dia? Ini pasti lebih mudah dijawab
daripada menjawab soal berhitung.
Itulah realita hidup, senantiasa
dipenuhi dengan hal yang tidak pasti, dan selalu ada bumbu kesedihan di
dalamnya. Takkan ada orang yang dapat merasakan kebahagiaan sepanjang
hayatnya. Takkan ada orang yang selalu terpenuhi keinginannya. Pun, tak
ada orang yang kelak tidak akan ditinggalkan orang yang dicintainya.
Tapi, satu hal yang pasti, kita bisa memberikan kebahagiaan bagi orang
lain. Niscaya, berkat perbuatan memberikan kebahagiaan bagi orang lain,
kita pun dapat merasakan kebahagiaan itu. Dunia tidak akan memberi pada
kita, jika kita tidak memutuskan untuk memberi kepada dunia. Hukum
aksi-reaksi selalu ada dalam kisah petualangan hidup kita mengarungi
dunia ini dalam lingkup usia manusia yang begitu terbatas.
"Anda hanya dekat dengan mereka yang anda sukai.
Dan seringkali anda menghindari orang yang tidak anda sukai, padahal dari dialah
Anda akan mengenal sudut pandang yang baru."